Simulasi Soal TKA

Mapel: Bahasa Indonesia | Jenjang: SMP MTs

Menyimpulkan Respons Emosional Tokoh Dalam Teks Fiksi
Sedang dikerjakan Sudah dijawab Ragu-ragu Belum dijawab
0%
Soal nomor 1:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Bagaimana perasaan Arya saat membeli buku “Langit di Ujung Senja”?

Soal nomor 2:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Perubahan emosional apa yang dialami Arya saat ibunya menyampaikan kabar tentang ayahnya?

Soal nomor 3:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Respon Arya ketika berada di ruang tunggu rumah sakit menunjukkan bahwa ia…

Soal nomor 4:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Arya belum membuka bukunya selama di rumah sakit karena…

Soal nomor 5:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Apa makna emosional yang ditangkap Arya dari kutipan dalam buku itu?

Soal nomor 6:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Bagaimana sikap Arya mencerminkan ketegaran emosionalnya?

Soal nomor 7:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Kapan Arya merasa “mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata”?

Soal nomor 8:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Reaksi diam Arya saat mendengar kabar dari ibunya menunjukkan…

Soal nomor 9:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Kalimat “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini” mencerminkan…

Soal nomor 10:
Malam itu hujan turun deras ketika Arya berjalan kaki pulang dari toko buku langganannya. Di tangan kirinya tergenggam buku berjudul “Langit di Ujung Senja” yang baru saja dibelinya, buku yang ia tunggu-tunggu sejak berbulan lalu. Setiap langkahnya menimbulkan cipratan kecil di genangan air. Jaketnya basah, tapi matanya tetap berbinar. Sesampainya di rumah, Arya langsung mengelap bukunya dan menyalakan lampu kamar. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding, lalu mulai membaca halaman pertama. Namun, tak lama kemudian ibunya masuk dengan raut wajah cemas. “Arya, besok ayahmu akan dibawa ke rumah sakit lagi,” katanya pelan. Arya menghentikan bacaannya, menatap ibunya, lalu mengangguk. Ia menyimpan bukunya dan memeluk ibunya diam-diam. Keesokan harinya, Arya duduk di ruang tunggu rumah sakit. Di pangkuannya, buku “Langit di Ujung Senja” tetap tertutup. Ia melihat ayahnya dari balik kaca ruang perawatan intensif. Hatinya kacau. Ingin sekali ia menangis, tapi ia memilih untuk tenang. “Aku harus kuat, seperti tokoh dalam buku ini,” pikirnya. Buku yang belum sempat ia baca malah menjadi pengingat keteguhan. Seminggu berlalu. Ayahnya mulai membaik. Arya akhirnya membuka kembali buku itu dan membacanya perlahan. Di tengah halaman, ia menemukan kutipan yang membuatnya terdiam: “Terkadang langit tampak gelap sebelum matahari benar-benar terbit.” Ia menutup buku itu sambil menatap keluar jendela. Di luar, senja mulai turun, dan langit tampak jingga. Ia tersenyum, seperti sedang mengerti sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Respons emosional akhir Arya terhadap situasi yang dihadapinya ditunjukkan dengan…