Soal nomor 9:
Mentari sore mulai merunduk di balik bukit ketika Arga duduk di atas batu besar di tepi sungai yang mengalir tenang. Angin sejuk meniupkan aroma dedaunan basah, seperti membisikkan kenangan masa kecil yang tertinggal di sudut-sudut desa ini. Ia menatap air yang berkilau diterpa cahaya keemasan, menciptakan tarian cahaya yang memantul seperti lukisan hidup. Sungai itu bukan hanya aliran air baginya—ia adalah saksi bisu perjalanan hidupnya.
Dulu, setiap sore Arga kecil bersama kakeknya akan datang ke sini. Mereka duduk berdampingan, melempar batu pipih yang memantul di permukaan air. Kakeknya akan bercerita tentang legenda-legenda tua: tentang ikan yang bisa berbicara, tentang pohon tua yang menyimpan rahasia, dan tentang cinta yang tumbuh dari benih kesetiaan. Suara kakeknya, hangat dan dalam, masih terpatri jelas dalam benak Arga, seolah waktu tak mampu merenggutnya.
Kini, semuanya telah berubah. Rumah kayu tempat kakek dan nenek tinggal telah roboh, tertelan usia dan badai. Jalan setapak menuju sungai telah dilapisi beton dingin, dan suara jangkrik yang dulu ramai kini kalah oleh deru kendaraan. Namun, dalam keheningan senja, Arga merasa kakeknya masih di situ—di antara desir angin dan gemericik air, dalam bayang-bayang pohon yang menari pelan diterpa cahaya redup.
“Segalanya berubah, tapi kenangan tetap hidup,” bisik Arga pelan. Matanya basah, tapi bukan karena sedih. Ia merasa hangat, seolah pelukan kakeknya menyelimuti dari jauh. Di dalam hatinya, kenangan itu tak pernah mati. Mereka hidup, bernapas, dan tumbuh, seperti akar pohon yang terus menjalar dalam tanah. Arga pun berdiri, menatap langit yang mulai jingga, dan berjanji untuk menjaga kisah itu, seperti menjaga nyala api kecil dalam malam yang panjang.
Apa fungsi penggunaan bahasa kias dalam penggalan cerita tersebut?